JAKARTA, INFODEWATA.COM - Perbedaan pendekatan antara TNI dan Polri dalam penggunaan sebutan untuk kelompok pro-kemerdekaan Papua menimbulkan kontroversi baru terkait penanganan konflik di wilayah tersebut. Panglima TNI, Jenderal TNI Agus Subiyanto, memicu perdebatan dengan memilih menggunakan kembali istilah Organisasi Papua Merdeka (OPM) melalui sebuah surat telegram tertanggal 5 April 2024 yang baru saja terungkap ke publik pada Rabu (10/04).
Dalam keputusannya ini, TNI secara tegas menghilangkan penggunaan sebutan kelompok separatis teroris (KST) untuk merujuk pada kelompok pro-kemerdekaan Papua. Sementara itu, Kepolisian RI masih mempertahankan terminologi sebelumnya yaitu kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Keputusan ini memunculkan pertanyaan serius terkait konsistensi kebijakan pemerintah dalam menangani konflik di Papua. Budi Hernawan, seorang pengamat yang juga penulis buku "Torture and Peacebuilding in Indonesia: The Case of Papua", mengungkapkan kekhawatirannya bahwa pertentangan kebijakan semacam ini dapat mengorbankan tidak hanya masyarakat Papua, tetapi juga anggota kepolisian, TNI, dan organisasi kemanusiaan yang beroperasi di lapangan.
Yuliana Langowuyo, direktur dari Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, menambahkan bahwa kejelasan dalam terminologi sangat penting untuk meminimalkan risiko terhadap warga sipil. "Perlu ada status yang jelas supaya masyarakat sipil itu betul-betul bisa diamankan," ungkap Yuliana kepada BBC News Indonesia.
Sementara itu, di tengah ketidakjelasan yang terus berlangsung, juru bicara dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom, menegaskan bahwa kelompoknya tetap siap bertempur, tanpa memperdulikan dampak keputusan terminologi yang diambil oleh TNI.